Jika saja waktu bisa aku putar untuk kembali kemasa silam, aku pasti akan memutarnya kembali demi untuk membayar budi seseorang yang telah membuatku kembali ‘hidup’ hingga aku bisa kembali menikmati keindahan dunia, menikmati indahnya cinta, kesetiaan dan ketulusan cinta seorang perempuan yang sangat mencintai aku.
Aku, sebut saja namaku Reno (bukan nama sebenarnya), mungkin adalah laki-laki yang tak pernah tahu bagaimana caranya membalas budi dan kebaikan seseorang. Bahkan mungkin bisa dibilang laki-laki penghianat yang menyebabkan seseorang yang sangat mencintaiku kehilangan asa dan bahkan nyawanya. Padahal ia telah memberikanku sebuah kebahagiaan, sebuah cinta yang teramat tulus dan sebuah pengorbanan yang teramat besar untuk hidupku.
Kisah ini bermula saat aku mengalami musibah yang menyebabkan aku menjadi buta karena retina mataku rusak. Sejak musibah kecelakaan itu aku menjadi seorang yang merasa terasing dari lingkunganku. Aku merasa tak ada seorangpun yang memperhatikanku dan perduli dengan kesulitan-kesulitanku. Kebahagiaan rasanya tak lagi menjadi bagian dari kehidupanku, putus asa, emosi yang tak terkira menyebabkanku menjadi laki-laki yang penuh dengan penderitaan.
Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seorang perempuan yang sangat perhatian dengan penderitaanku. Perkenalan itu bermula saat aku hendak menyebrang di sebuah jalan. Aku memang telah terbiasa menerima pertolongan, tapi saat itu aku tak menyangka jika penolongku saat itu adalah seorang perempuan yang kelak akan merubah seluruh kisah hidupku.
Perempuan itu, sebut saja namanya Hesti (bukan nama sebenarnya) menjadi begitu sering menolongku, hingga membuat kami akhirnya terlibat dalam jalinan asmara yang begitu mesra. Aku sendiri tak tahu mengapa Hesti begitu mencintaiku, setiap kali aku bertanya, ia selalu menjawab tidak tahu. “Entahlah mas, aku tidak pernah tahu alasan mengapa aku begitu menyayangimu. Yang aku tahu...aku benar-benar tulus menyayangimu,” hanya kata itu yang selalu ia lontarkan.
Sebagai laki-laki buta aku memang tak pernah bisa memberikan apa-apa buat Hesti. Aku hanya bisa memberikan janji-janji untuknya. Janji-janji tentang ketulusan dan kesetiaanku untuk terus mencintainya. “Aku memang tak memiliki apa-apa untuk kuberikan kepadamu Hes, tetapi aku memiliki kesetiaan dan ketulusan,” ujarku saat itu. “Mas...aku tidak mengharap apapun darimu...buatku kamu bisa ceria setiap hari dan menyayangiku dengan tulus itu sudah cukup...Aku senang ketika kau merasa senang...,” terharu aku mendengar kata-katanya tersebut.
Hingga suatu saat, meluncurlah sebuah janji dari mulutku, janji tentang niatku yang akan menikahinya. Tetapi aku tak ingin menikah dengan keadaanku yang masih buta, aku tak ingin Hesti memiliki suami yang buta, yang nanti akan selalu membuatnya susah dan ikut menderita bersamaku. Sungguh aku tak ingin melihatnya ikut menderita, karena aku telah merasakan penderitaan yang amat sangat dengan keadaan ini.
Selama beberapa bulan aku dan Hesti mencari orang yang mau mendonorkan retina matanya untuk mataku, tetapi semua usaha itu tak membuahkan hasil. “Siapa pula yang ingin mengorbankan matanya dan menjadi buta, cuma hanya ingin menolong seseorang,” rutukku dalam hati. Saat itu aku tak lagi banyak berharap, dan aku mencoba menerima realita ini. “Maafkan aku Hes, sepertinya aku tak akan pernah bisa mewujudkan janjiku untuk menikahimu, aku tak ingin kamu memiliki suami buta seperti aku,”
Dalam keadaan yang semakin putus asa, akhinya ada seseorang yang bersedia mendonorkan retina matanya untukku. Singkat cerita aku akhirnya dapat melihat kembali. Saat itu aku ingin secepatnya menemui Hesti untuk segera melamarnya. Namun apa yang aku dapatkan hanyalah seorang gadis buta, Hesti ternyata adalah gadis buta seperti aku. “Pantas saja ia begitu menyayangiku,” gerutuku dalam hati.
Dan akhirnya janjiku itu tak pernah aku wujudkan, karena aku tak mau ikut menderita karena memiliki istri yang buta. Aku sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi buta, ia pasti akan selalu meminta bantuanku dan akan selalu menyusahkan hidupku. Aku lantas meninggalkannya begitu saja, meninggalkannya dalam penderitaan yang luar biasa.
Sampai kemudian aku mendengar kabar kematiannya di surat kabar. Ia ditemukan tewas bunuh diri dalam kamarnya. Yang di temukan saat itu hanyalah sebuah surat, surat yang ditujukan buatku, laki-laki bajingan yang dengan tega meninggalkannya dalam kesendirian, dalam keadaan gelap yang menyelubungi hidupnya, dalam penderitaan karena terkhianati, sungguh aku ingin ia hidup kembali, jika saja nyawaku ini bisa menjadi penukar kematiaannya, aku pasti akan menukarkannya.
"Mas Reno…..Memang tidak banyak yang bisa aku berikan padamu..tidak banyak yg bisa aku lakukan untukmu... Namun..aku sungguh-sungguh tulus menyayangimu. .
...Semoga kedua mataku itu bisa berguna bagimu..bisa membawakan terang dan keceriaan dalam hidupmu kembali.."
…Kadang kala kita tidak boleh melihat sesuatu hanya dengan mata..melainkan juga dengan hati kita.. Mata itu bisa menipu..namun hati tidak.. kata hati selalu merupakan kejujuran terdalam dalam hidup manusia….
Aku, sebut saja namaku Reno (bukan nama sebenarnya), mungkin adalah laki-laki yang tak pernah tahu bagaimana caranya membalas budi dan kebaikan seseorang. Bahkan mungkin bisa dibilang laki-laki penghianat yang menyebabkan seseorang yang sangat mencintaiku kehilangan asa dan bahkan nyawanya. Padahal ia telah memberikanku sebuah kebahagiaan, sebuah cinta yang teramat tulus dan sebuah pengorbanan yang teramat besar untuk hidupku.
Kisah ini bermula saat aku mengalami musibah yang menyebabkan aku menjadi buta karena retina mataku rusak. Sejak musibah kecelakaan itu aku menjadi seorang yang merasa terasing dari lingkunganku. Aku merasa tak ada seorangpun yang memperhatikanku dan perduli dengan kesulitan-kesulitanku. Kebahagiaan rasanya tak lagi menjadi bagian dari kehidupanku, putus asa, emosi yang tak terkira menyebabkanku menjadi laki-laki yang penuh dengan penderitaan.
Sampai akhirnya aku berkenalan dengan seorang perempuan yang sangat perhatian dengan penderitaanku. Perkenalan itu bermula saat aku hendak menyebrang di sebuah jalan. Aku memang telah terbiasa menerima pertolongan, tapi saat itu aku tak menyangka jika penolongku saat itu adalah seorang perempuan yang kelak akan merubah seluruh kisah hidupku.
Perempuan itu, sebut saja namanya Hesti (bukan nama sebenarnya) menjadi begitu sering menolongku, hingga membuat kami akhirnya terlibat dalam jalinan asmara yang begitu mesra. Aku sendiri tak tahu mengapa Hesti begitu mencintaiku, setiap kali aku bertanya, ia selalu menjawab tidak tahu. “Entahlah mas, aku tidak pernah tahu alasan mengapa aku begitu menyayangimu. Yang aku tahu...aku benar-benar tulus menyayangimu,” hanya kata itu yang selalu ia lontarkan.
Sebagai laki-laki buta aku memang tak pernah bisa memberikan apa-apa buat Hesti. Aku hanya bisa memberikan janji-janji untuknya. Janji-janji tentang ketulusan dan kesetiaanku untuk terus mencintainya. “Aku memang tak memiliki apa-apa untuk kuberikan kepadamu Hes, tetapi aku memiliki kesetiaan dan ketulusan,” ujarku saat itu. “Mas...aku tidak mengharap apapun darimu...buatku kamu bisa ceria setiap hari dan menyayangiku dengan tulus itu sudah cukup...Aku senang ketika kau merasa senang...,” terharu aku mendengar kata-katanya tersebut.
Hingga suatu saat, meluncurlah sebuah janji dari mulutku, janji tentang niatku yang akan menikahinya. Tetapi aku tak ingin menikah dengan keadaanku yang masih buta, aku tak ingin Hesti memiliki suami yang buta, yang nanti akan selalu membuatnya susah dan ikut menderita bersamaku. Sungguh aku tak ingin melihatnya ikut menderita, karena aku telah merasakan penderitaan yang amat sangat dengan keadaan ini.
Selama beberapa bulan aku dan Hesti mencari orang yang mau mendonorkan retina matanya untuk mataku, tetapi semua usaha itu tak membuahkan hasil. “Siapa pula yang ingin mengorbankan matanya dan menjadi buta, cuma hanya ingin menolong seseorang,” rutukku dalam hati. Saat itu aku tak lagi banyak berharap, dan aku mencoba menerima realita ini. “Maafkan aku Hes, sepertinya aku tak akan pernah bisa mewujudkan janjiku untuk menikahimu, aku tak ingin kamu memiliki suami buta seperti aku,”
Dalam keadaan yang semakin putus asa, akhinya ada seseorang yang bersedia mendonorkan retina matanya untukku. Singkat cerita aku akhirnya dapat melihat kembali. Saat itu aku ingin secepatnya menemui Hesti untuk segera melamarnya. Namun apa yang aku dapatkan hanyalah seorang gadis buta, Hesti ternyata adalah gadis buta seperti aku. “Pantas saja ia begitu menyayangiku,” gerutuku dalam hati.
Dan akhirnya janjiku itu tak pernah aku wujudkan, karena aku tak mau ikut menderita karena memiliki istri yang buta. Aku sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi buta, ia pasti akan selalu meminta bantuanku dan akan selalu menyusahkan hidupku. Aku lantas meninggalkannya begitu saja, meninggalkannya dalam penderitaan yang luar biasa.
Sampai kemudian aku mendengar kabar kematiannya di surat kabar. Ia ditemukan tewas bunuh diri dalam kamarnya. Yang di temukan saat itu hanyalah sebuah surat, surat yang ditujukan buatku, laki-laki bajingan yang dengan tega meninggalkannya dalam kesendirian, dalam keadaan gelap yang menyelubungi hidupnya, dalam penderitaan karena terkhianati, sungguh aku ingin ia hidup kembali, jika saja nyawaku ini bisa menjadi penukar kematiaannya, aku pasti akan menukarkannya.
"Mas Reno…..Memang tidak banyak yang bisa aku berikan padamu..tidak banyak yg bisa aku lakukan untukmu... Namun..aku sungguh-sungguh tulus menyayangimu. .
...Semoga kedua mataku itu bisa berguna bagimu..bisa membawakan terang dan keceriaan dalam hidupmu kembali.."
…Kadang kala kita tidak boleh melihat sesuatu hanya dengan mata..melainkan juga dengan hati kita.. Mata itu bisa menipu..namun hati tidak.. kata hati selalu merupakan kejujuran terdalam dalam hidup manusia….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar