Kesedihan menyelimuti keluarga kami, saat istriku melahirkan anak pertama kami. Padahal mestinya hari itu kami berbahagia, tetapi setelah melihat keadaan anak lelakiku itu, aku langsung menarik nafasku dalam-dalam dan mencoba ikhlas dan bersabar, sementara istriku langsung terkulai lemas saat memperhatikan anak pertamanya. Tetapi kemudian ia bisa menerima dan mulai terbiasa dengan keadaan anak kami.
Rangga (bukan nama sebenarnya), demikan aku memanggil anak itu. Sebenarnya ia memiliki wajah yang cukup tampan, rambut tebal dengan dengan alis yang tebal, juga hidung yang bangir, namun sayangnya ia tak memiliki daun telinga, sehingga wajahnya yang tampan jadi terlihat aneh.
Yang membuat kami sedih, kami tak bisa membayangkan jika kelak ia sudah dewasa dan menyadari kekurangannya. Dan kekhawatiran kami akhirnya menjadi kenyataan. Ia tumbuh menjadi anak yang rendah diri, tak mau bergaul dengan teman sebaya yang sering mengejeknya sebagai manusia planet.
Suatu hari anakku itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anakku terisak-isak dan berkata. "Teman-teman mengejekku dan tak mau bereman denganku. Katanya, aku ini makhluk aneh."
Selama beberapa tahun aku berusaha untuk mencari jalan keluarnya agar anakku bisa tumbuh dan bermain secara normal. Aku tak ingin ia terus menerus dirundung kesedihan yang akhirnya berimbas pada semangat istriku dalam membesarkannya. Anakku memang akhirnya tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya.
Secara perlahan teman-teman sekolahnyapun mulai bisa menerimanya, walaupun masih ada beberapa yang menghindarinya karena takut. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Istriku mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ia merasa kasihan padanya.
Hingga suatu saat ada dokter yang sanggup mencangkokan telinga untuk anakku, namun aku kesulitan mendapatkan orang yang mau mendonorkan telinganya. Hingga beberapa bulan kemudian akhirnya anakku mendapatkan daun telinga yang telah lama ia idam-idamkan. "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kataku.
Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja. "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Katanya. Tetapi aku belum bisa memberitahunya karena alasan kesepakatan dengan si pendonor.
Tahun berganti tahun, kami tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari kami kembali mengalami peristiwa yang menyedihkan. Istri tersayangku meninggal dunia karena sakit. Rangga yang sangat mencintai ibunya terus berurai air mata dan sepertinya ia tak ingin berada jauh dengan ibunya. Tangannya terus menerus membelai wajah dan rambut ibunya, hingga secara tak sengaja rambut ibunya tersingkap dan memperlihatkan sesuatu yang semakin membuatnya sedih.
Ia dengan jelas melihat bahwa ibunya tak lagi memiliki daun telinga. Dengan perlahan dan lembut, aku buru-buru menghampirinya dan mencoba menguatkan hatinya. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisikku di telinganya. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan? Dan sebagian kecantikanya itu ia pindahkan kepadamu.”
Rangga seolah tak bisa lagi membendung kegundahan hatinya, sesaat kemudian ia memeluk ibunya, menciumi wajah ibunya yang telah terbujur kaku. Selama bertahun-tahun ia memendam tanda tanya besar di hatinya tentang siapa sebenarnya yang telah mendonorkan daun telinga kepadanya. Dan hari itu, saat kematian sang ibu tanda tanya besar itu sudah terjawab walau harus ia terima dengan segala kesedihan. (rn)
Rangga (bukan nama sebenarnya), demikan aku memanggil anak itu. Sebenarnya ia memiliki wajah yang cukup tampan, rambut tebal dengan dengan alis yang tebal, juga hidung yang bangir, namun sayangnya ia tak memiliki daun telinga, sehingga wajahnya yang tampan jadi terlihat aneh.
Yang membuat kami sedih, kami tak bisa membayangkan jika kelak ia sudah dewasa dan menyadari kekurangannya. Dan kekhawatiran kami akhirnya menjadi kenyataan. Ia tumbuh menjadi anak yang rendah diri, tak mau bergaul dengan teman sebaya yang sering mengejeknya sebagai manusia planet.
Suatu hari anakku itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anakku terisak-isak dan berkata. "Teman-teman mengejekku dan tak mau bereman denganku. Katanya, aku ini makhluk aneh."
Selama beberapa tahun aku berusaha untuk mencari jalan keluarnya agar anakku bisa tumbuh dan bermain secara normal. Aku tak ingin ia terus menerus dirundung kesedihan yang akhirnya berimbas pada semangat istriku dalam membesarkannya. Anakku memang akhirnya tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya.
Secara perlahan teman-teman sekolahnyapun mulai bisa menerimanya, walaupun masih ada beberapa yang menghindarinya karena takut. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Istriku mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ia merasa kasihan padanya.
Hingga suatu saat ada dokter yang sanggup mencangkokan telinga untuk anakku, namun aku kesulitan mendapatkan orang yang mau mendonorkan telinganya. Hingga beberapa bulan kemudian akhirnya anakku mendapatkan daun telinga yang telah lama ia idam-idamkan. "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kataku.
Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja. "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Katanya. Tetapi aku belum bisa memberitahunya karena alasan kesepakatan dengan si pendonor.
Tahun berganti tahun, kami tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari kami kembali mengalami peristiwa yang menyedihkan. Istri tersayangku meninggal dunia karena sakit. Rangga yang sangat mencintai ibunya terus berurai air mata dan sepertinya ia tak ingin berada jauh dengan ibunya. Tangannya terus menerus membelai wajah dan rambut ibunya, hingga secara tak sengaja rambut ibunya tersingkap dan memperlihatkan sesuatu yang semakin membuatnya sedih.
Ia dengan jelas melihat bahwa ibunya tak lagi memiliki daun telinga. Dengan perlahan dan lembut, aku buru-buru menghampirinya dan mencoba menguatkan hatinya. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisikku di telinganya. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan? Dan sebagian kecantikanya itu ia pindahkan kepadamu.”
Rangga seolah tak bisa lagi membendung kegundahan hatinya, sesaat kemudian ia memeluk ibunya, menciumi wajah ibunya yang telah terbujur kaku. Selama bertahun-tahun ia memendam tanda tanya besar di hatinya tentang siapa sebenarnya yang telah mendonorkan daun telinga kepadanya. Dan hari itu, saat kematian sang ibu tanda tanya besar itu sudah terjawab walau harus ia terima dengan segala kesedihan. (rn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar